Luka. Sesuatu yang mutlak mengakibatkan lara. Sesuatu yang
bisa saja disengaja. Sesuatu yang sulit untuk dilupa. Tapi aku sekarang berdiri
dengan sekarung luka dipunggung. Sedang mencari tempat yang pantas untuk menyimpannya.
Karena luka ini mustahil untuk dibuang. Bahkan dilupakan.
Kamu si pemberi luka. Apa nuranimu seburuk koruptor?
Mengambil kebahagianku, harta paling berharga dalam hidupku. Kupikir otakmu
secerdas Einsten, karena ucapanmu selalu membuatku kagum. Ternyata aku tak
secerdik Conan. Atau mungkin kamu yang lebih hebat dari Superman?
Jika hobimu menggoreskan luka. Kenapa tidak dari dulu
bergabung dengan klub karate? Tapi kamu justru menghabiskan waktu dengan
menebar benih kebencian. Di sana – sini pula. Thread sms, chatting, juga
rekaman percakapan itu masih saja menempel di otak ini. Seakan ia adalah stiker
termahal yang mustahil luntur. Oh God! I wanna make it going to be end. I’m
going to be mad!
Ikhlas, sesuatu yang medekatkanku pada bahagia.
Ikhlas. Lagi-lagi kata ini. Haruskah aku ikhlas atas luka
ini? Tidak! Tapi aku akan mencoba ikhlas karena mengenalmu. Ya… mustahil aku
bisa menjadi sesabar ini jika tidak karena kesintinganmu. Dan, aku akan lebih
selektif memilih teman. Karena apa? Sederhana.
Luka tertusuk jarum bisa hilang, tapi tertusuk teman? Belum tentu gays.
Kesabaranku cukup mengambil andil besar dalam hidupku.
Mungkin saja mustahil aku percayai. Aku memaafkannya. Gila bukan? Cukup gila kedengarannya. Karena luka yang kau gores, bahkan kau tusuk itu cukup menjadi mesin waktu. Mengajakku tiba-tiba kembali ke masa indah yang hilang tiba-tiba akibat pengkhianatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar