Pagi Kamu!
Sudahkah aku terselip di antara mimpimu malam tadi?
Atau dia yang akhir-akhir ini menjadi teman curhatmu yang
menjadi teman (juga) dalam mimpimu?
Entahlah, aku ‘kan bukan peramal. Juga bukan keturunan ahli
tafsir. Jadi maafkan keterbatasanku ini.
Jadi, melalui barisan kata-kata ini aku menyelipkan sebuah
kecemburuan. Sebuah rasa yang muncul paksa karena hadirnya orang ketiga. Sebuah
rasa yang terseret keluar karena terbangnya kepercayaan. Sebuah rasa yang
sedang saya paksa untuk tidak mengganggu kalian berdua.
Gengsi yang terkumpul pada diriku mungkin baru setinggi
monas. Namun, entah kenapa tetap sulit untuk menebangnya. Mungkin juga sudah
sebanyak jumlah tweet dalam akun twitterku. Sialnya jika itu diberi satuan “kg”
entah habis berapa detik untuk menguranginya.
Dan mungkin melalui surat inilah aku berani melemparkannya. Iya
melemparkan rasa yang sudah bosan aku kurung. Rasa yang mulai jenuh melihat air
mata. Rasa yang muak bertemu kesedihan. Rasa yang minta kepastian. Rasa yang
terlampau hapal username twittermu. Inilah dia: Cinta.
Apa kamu akan membiarkannya berlari sendirian tanpa arah? Membiarkan
dia berteriak seperti orang gila? Membiarkan dia menunggu imam yang tak percaya
iman? HEY KAMU! Dia telah berlari meninggalkan gengsi dengan menulis surat ini.
Dia telah berteriak ribuan kali melalui akun twitternya. Dia telah menunggu
orang yang percaya-akan-bintang, orang yang tak pecaya diri sendiri.
Dapatkah Kamu menjawabnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar